SEGUMPAL RINDU
Sore itu, aku merasakan perasaan yang amat berbeda. Yusuf, laki-laki yang telah lama kunantikan sosoknya ada di dekatku, kini telah mengikatku dengan rantai-rantai cintanya di hatiku. Sosok dihadapanku ini telah membuat hari-hari ku berbeda. Membuat hari-hariku lebih bermakna. Tak ku sangka dia menyatakan cintanya padaku. Wanita bodoh, congkak seperti aku ini. Bisa-bisanya menarik perhatian orang sebaik dan secerdas Yusuf. Yah, Yusuf. Siswa SMA terpandang di Jakarta.
“Ya, aku pun demikian, aku juga sangat menyayangi mu melebihi siapapun.” Jawabku gugup sambil menggenggam erat ranting-ranting tangannya yang halus.
“Yeach...!!” seru Yusuf. Rona bahagia dapat kulihat dari pancaran matanya. Mataku seolah tak sanggup lagi menahan rasa haru. Kuteteskan air mata bahagia itu di hadapannya.
Ia menarik ku, berlari menuju sebuah gubuk kecil kumuh tak jauh dari apartemen milik ayahnya. Namun di balik gubuk kecil dan kumuh itu kudapati pemandangan yang indah. Sangat indah. Hamparan sawah menghijau. Sesekali terdengar gemuruhnya suara kicauan burung. Matahari tampak bersinar cerah tanpa ada setitik awan yang berani mendekatinya. Ini benar-benar bukan Jakarta yang selama ini ku kenal.
“Kenapa kamu mengajakku kesini?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Aku suka dengan tempat ini. Suasananya masih sangat asri. Apa kamu menyukainya?”
“Ya... suka. Suka sekali.”
Aku tersenyum geli mengingat hari itu. Hhh!! Aku jadi rindu sosok yang selalu membawa keceriaan di setiap hariku. Itu semua kejadian 4 tahun lalu.
Sekarang Yusuf pindah ke Solo karena tugas ayahnya. Kami sudah putus. Namun bohong jika tidak ada lagi cinta diantara kami. Buktinya, aku masih sangat menyayanginya, bahkan aku sangat menginginkan masa-masa 4 tahun lalu dapat terulang lagi.
Aku mulai duduk bersandar dikursi belajarku. Belum lama aku menjatuhkan diri di kursi, tiba-tiba ponselku berdering. Nomornya tidak ku kenal.
“Halo? Selamat malam.” sapaku.
“Hai Lin? Apa kabar? Ini aku Yusuf.” jawabnya.
“Yusuf? aku baik-baik aja. Bagaimana dengan kamu?”
“Aku juga baik. Aku punya berita bagus, nih. Dan menurutku ini juga termasuk kabar gembira.”
“Apa itu?” tanyaku sambil menyernyitkan kening.
“Minggu depan, ayahku dipindah tugaskan lagi ke Jakarta. Dan otomatis ibuku, aku dan Rara akan ikut pindah bersamanya.” Ucapnya kegirangan. Jantungku mulai terasa memburu.
“Benarkah? Waah.. aku jadi tidak sabar menunggu hari itu.” Jawabku sambil tertawa tanda senang.
Malam semakin larut. Suasananya mulai terasa sunyi. Hamparan awan petang mulai menyapu bintang-bintang. Setitik air pun mulai turun dari langit. Suasana semakin sunyi saat rintik hujan mulai turun dengan deras membasahi bumi. Potret-potret wajah Yusuf masih menari-nari di pelupuk mataku. Aku mulai merebahkan kepalaku ke bantal. Kupejamkan kedua mataku. Dan kubuang jauh-jauh semua bayang-bayang Yusuf. Aku pun terlelap dalam tidurku.
***
Pagi yang cerah.
Titik-titik embun pun dengan lembut menyapa dedaunan nan hijau di luar sana. Aku bangun dengan menyipitkan kedua mataku dan mengepalkan kedua tanganku ke samping seraya menatap keluar jendela. Kulihat mentari pagi telah muncul di ufuk timur. Mataku setengah melirik ke arah jarum jam di sudut kamarku. Sekarang sudah jam enam pagi.
Dengan wajah yang terlihat kusam dan kusut, aku mulai beranjak dari tidurku. Kuraih handuk yang tergantung di dekat kamar mandi.
Setelah kucuci tubuhku dengan air bersih, ku ambil sehelai baju dari lemari gantungku dan langsung mengenakannya. Kaus oblong yang kupasangkan dengan celana pendek. Ku oleskan parfum kenang-kenangan dari ibu di leherku. Ku cium aroma mawar yang harum.
Aku bergegas keluar kamar dan bersiap menjalani aktivitas rutinku setiap hari. Aku tinggal bersama tanteku yang merupakan adik dari ibuku. Dirumah tenteku, aku hanya tinggal bersama tante Lusi dan om Firman saja, karena selama hampir tujuh tahun menikah, mereka belum dikaruniai seorang anak.
Aku mengambil lap yang sedikit basah di belakang dan mulai membersihkan lemari dari debu. Tanpa sengaja aku menjatuhkan foto yang tak berbingkai. Tanpa berlama-lama kuraih foto itu dari lantai. Itu foto kenang-kenangan tante Lusi bersama ibu saat liburan di borobudur.
Aku mulai menarik nafas sesak. Tanpa kusadari setitik air suci dari mataku mulai jatuh membasahi pipiku.
“Linda kangen sekali pada ibu.” Ucapku lirih sambil menahan air mata agar tidak jatuh lebih banyak. Karena aku pasti akan merasa malu jika tante Lusi melihatku.
Ibuku belum lama meninggal. Sedangkan ayahku pergi entah kemana. Itu sebabnya aku tinggal bersama om Firman dan tante Lusi.
***
Seminggu berlalu. Keluarga Yusuf mengundangku untuk ikut makan malam bersama di apartemennya. Kebetulan aku sudah kenal benar dengan keluarga Yusuf. Malam itu adalah malam yang paling bersejarah dalam hidupku.
Waktu sudah menunjukkan angka setengah delapan malam hari. Sebuah mobil Honda Jazz berwarna merah kini terparkir di halaman rumah tanteku. Itu mobil Yusuf. Ia datang untuk menjemputku.
Singkat cerita, aku sudah sampai di apartemen milik ayah Yusuf. Aku makan dengan menu yang luar biasa mewah. Bukan tahu dan tempe yang setiap hari kumakan dirumah.
Selesai makan malam, Rara menarikku ke taman belakang. Disitu kami ngobrol banyak.
“Mbak Linda nginep sini aja. Nanti biar tidur dikamar Rara.” Ucapnya lirih.
“Hmm.. apa itu nggak terlalu merepotkan Rara ya?” tanyaku.
“Ya nggak dong, mbak. Rara malah senang kalau mbak mau nginep disini.”
“Ya sudah, mbak mau.” Jawabku sambil tersenyum. “Waah, berarti Rara pindah sekolah ke Jakarta juga dong?” kataku mencari topik pembicaraan yang lain.
“Iya, mbak. Mau gimana lagi. Sebenarnya Rara cape pindah-pindah melulu.” Katanya sambil nyengir kuda.
“Rara mau pindah sekolah dimana?”
“Besok mau diantar ke SMAN 176 sama mas Yusuf.” tawa senang kembali terpasang di bibirnya.
Entah mengapa tiba-tiba Rara pingsan. Dia terjatuh di pangkuanku. Rasa bingung mulai menghampiriku.
“Yusuuf!! Om! Tante! Tolong. Rara pingsan!” seruku. Mereka langsung berlari dari ruang tengah menuju ke taman.
“Ya ampun Rara?! Kenapa kamu, nak?” kata tante Sukma. Yusuf langsung membopong Rara masuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
Suasana semakin tegang saat sudah sampai dirumah sakit. Aku dan tante Sukma berlari mendekati seorang dokter yang baru keluar dari kamar Rara.
“Anak saya kenapa, dok?” tanya tante Sukma dengan cemasnya.
“Anak ibu mengidap kanker otak stadium akhir.” Jawab dokter itu sambil memegang pundak tante Sukma. “Kemungkinan hidupnya tidak akan bertahan lama. Saya harap ibu tabah menerimanya.” Katanya lagi.
Tangis tante Sukma semakin menjadi-jadi. Aku pun demikian. Detak jantungku semakin kacau kurasakan. Kupeluk erat tante Sukma.
Aku mulai berjalan mendekati kamar dimana Rara tengah berjuang melawan maut. Sudah hampir lima jam lebih kami berada dirumah sakit. Kulihat tubuh lemas Rara yang terbaring di atas ranjang dari kaca kecil di balik pintu. Kasihan dia. Harusnya malam ini menjadi malam pertama dia tidur bersamaku. Itu yang ia inginkan.
Suara cekikik tawa saat di taman tadi masih terdengar jelas di telingaku. Air mataku kembali menetes.
Aku berlari ke arah musola kecil di rumah sakit. Kukerjakan solat malam setelah kuambil air wudhu.
Aku mendongakan kepalaku dan menengadahkan tanganku meminta kepada-Nya agar Rara bisa sembuh.
“Tuhan. Lindungi Rara. Kami semua menyayanginya. Kami semua ingin melihat dia sembuh. Izinkan dia untuk bisa meraih mimpi-mimpinya. Sembuhkanlah dia, Tuhan.” Ucapku seraya membenamkan wajahku di kedua tanganku dan mulai kembali ke kamar Rara dengan membawa sejuta harapan agar Rara sadar dan sembuh. Namun Tuhan berkehendak lain. Rara telah pergi. Dia sudah tidak ada.
“Raraa!!!!” tante Sukma menjerit sambil memeluk tubuh Rara yang sudah terbujur kaku. Aku kasihan melihat tante Sukma. Aku menghampirinya kemudian memeluknya. Air mata semakin deras membasahi pipiku.
***
“Sudahlah tante. Linda yakin kalau Rara akan tenang di alamnya yang sekarang.” Ucapku dengan penuh hati-hati.
“Dia masih kecil. Mengapa bukan aku saja yang pergi.” Katanya sambil menaburkan bunga di makam Rara. Suasananya sudah mulai terasa sunyi. Orang-orang yang datang melayat pun sudah pulang. Hanya aku, tante Sukma, om Agum dan Yusuf yang masih tersisa.
“Hus! Mama nggak boleh bicara seperti itu. Rara sudah tidak ada, Ma. Biarkan dia tenang di alamnya.” Kata Yusuf dengan penuh sabar.
***
“”Maaf nyonya, barusan saya temukan ini di bawah meja belajar non Rara saat saya sedang menyapu lantai kamarnya.” Kata bi Surti setengah berbisik kepada tante Sukma seraya memberikan sebuah surat saat acara yasinan tengah berlangsung. Tante Sukma langsung bergegas membawa surat itu ke kamar dan langsung membacanya.
Untuk mama,
Mungkin saat mama membaca surat ini, Rara sudah nggak ada. Ma, maafkan Rara karena sudah lama Rara merahasiakan tentang penyakit ini. Rara nggak mau melihat mama sedih karena penyakit Rara ini. Sebenarnya ada satu keinginan rara, ma.
Rara ingin sekali melihat mas Yusuf bahagia. Rara tau kalau mas Yusuf sangat menyayangi mbak Linda, begitu pula dengan mbak Linda. Rara ingin mereka bersatu, ma. Rara ingin mereka menikah. Sekalii ini aja, kabulin permintaan rara ini ya, ma. Rara mohon.
Dari Rara
“Bi, tolong panggilkan Linda. Bawa dia kesini.” Printahnya pada bi Surti yang berada disampingnya. Bi surti langsung bergegas keluar kamar sambil berlari-lari kecil untuk memanggilku.
“Ada apa, tante?” tanyaku penasaran saat sudah sampai di kamar. Tante Sukma tidak menjawab. Dia hanya memberikan selembar kertas kepadaku. Kubuka lipatannya dan segera kubaca isinya.
“Kamu mau kan mengabulkan permintaan Rara itu?” kata tante Sukma penuh harap. Kulihat air mata mulai mengalir dipipinya.
“Iya tante. Linda ikhlas. Semua demi Rara.” Jawabku sambil menghapus air mata di pipi tante Sukma, lalu ku peluk erat tubuhnya.
***
Hari itu tiba. Aku mengenakan kebaya putih lengkap dengan rambutku yang di sanggul. Kulihat yusuf yang mengenakan celana dasar panjang, kemeja, jas dan dasi. Dia sungguh terlihat tampan mengenakannya.
Aku merasa sedih, namun bahagia. Aku sedih karena Rara tidak hadir di acara pernikahanku. Namun aku bahagia, karena Yusuf telah menjadi milikku seutuhnya.
Aku menggenggam erat tangan Yusuf saat di pelaminan. Kubisikkan kata aku sayang kamu ditelinganya. Ia membalasnya dengan anggukan sambil tersenyum bahagia.
*** “Ya, aku pun demikian, aku juga sangat menyayangi mu melebihi siapapun.” Jawabku gugup sambil menggenggam erat ranting-ranting tangannya yang halus.
“Yeach...!!” seru Yusuf. Rona bahagia dapat kulihat dari pancaran matanya. Mataku seolah tak sanggup lagi menahan rasa haru. Kuteteskan air mata bahagia itu di hadapannya.
Ia menarik ku, berlari menuju sebuah gubuk kecil kumuh tak jauh dari apartemen milik ayahnya. Namun di balik gubuk kecil dan kumuh itu kudapati pemandangan yang indah. Sangat indah. Hamparan sawah menghijau. Sesekali terdengar gemuruhnya suara kicauan burung. Matahari tampak bersinar cerah tanpa ada setitik awan yang berani mendekatinya. Ini benar-benar bukan Jakarta yang selama ini ku kenal.
“Kenapa kamu mengajakku kesini?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Aku suka dengan tempat ini. Suasananya masih sangat asri. Apa kamu menyukainya?”
“Ya... suka. Suka sekali.”
Aku tersenyum geli mengingat hari itu. Hhh!! Aku jadi rindu sosok yang selalu membawa keceriaan di setiap hariku. Itu semua kejadian 4 tahun lalu.
Sekarang Yusuf pindah ke Solo karena tugas ayahnya. Kami sudah putus. Namun bohong jika tidak ada lagi cinta diantara kami. Buktinya, aku masih sangat menyayanginya, bahkan aku sangat menginginkan masa-masa 4 tahun lalu dapat terulang lagi.
Aku mulai duduk bersandar dikursi belajarku. Belum lama aku menjatuhkan diri di kursi, tiba-tiba ponselku berdering. Nomornya tidak ku kenal.
“Halo? Selamat malam.” sapaku.
“Hai Lin? Apa kabar? Ini aku Yusuf.” jawabnya.
“Yusuf? aku baik-baik aja. Bagaimana dengan kamu?”
“Aku juga baik. Aku punya berita bagus, nih. Dan menurutku ini juga termasuk kabar gembira.”
“Apa itu?” tanyaku sambil menyernyitkan kening.
“Minggu depan, ayahku dipindah tugaskan lagi ke Jakarta. Dan otomatis ibuku, aku dan Rara akan ikut pindah bersamanya.” Ucapnya kegirangan. Jantungku mulai terasa memburu.
“Benarkah? Waah.. aku jadi tidak sabar menunggu hari itu.” Jawabku sambil tertawa tanda senang.
Malam semakin larut. Suasananya mulai terasa sunyi. Hamparan awan petang mulai menyapu bintang-bintang. Setitik air pun mulai turun dari langit. Suasana semakin sunyi saat rintik hujan mulai turun dengan deras membasahi bumi. Potret-potret wajah Yusuf masih menari-nari di pelupuk mataku. Aku mulai merebahkan kepalaku ke bantal. Kupejamkan kedua mataku. Dan kubuang jauh-jauh semua bayang-bayang Yusuf. Aku pun terlelap dalam tidurku.
***
Pagi yang cerah.
Titik-titik embun pun dengan lembut menyapa dedaunan nan hijau di luar sana. Aku bangun dengan menyipitkan kedua mataku dan mengepalkan kedua tanganku ke samping seraya menatap keluar jendela. Kulihat mentari pagi telah muncul di ufuk timur. Mataku setengah melirik ke arah jarum jam di sudut kamarku. Sekarang sudah jam enam pagi.
Dengan wajah yang terlihat kusam dan kusut, aku mulai beranjak dari tidurku. Kuraih handuk yang tergantung di dekat kamar mandi.
Setelah kucuci tubuhku dengan air bersih, ku ambil sehelai baju dari lemari gantungku dan langsung mengenakannya. Kaus oblong yang kupasangkan dengan celana pendek. Ku oleskan parfum kenang-kenangan dari ibu di leherku. Ku cium aroma mawar yang harum.
Aku bergegas keluar kamar dan bersiap menjalani aktivitas rutinku setiap hari. Aku tinggal bersama tanteku yang merupakan adik dari ibuku. Dirumah tenteku, aku hanya tinggal bersama tante Lusi dan om Firman saja, karena selama hampir tujuh tahun menikah, mereka belum dikaruniai seorang anak.
Aku mengambil lap yang sedikit basah di belakang dan mulai membersihkan lemari dari debu. Tanpa sengaja aku menjatuhkan foto yang tak berbingkai. Tanpa berlama-lama kuraih foto itu dari lantai. Itu foto kenang-kenangan tante Lusi bersama ibu saat liburan di borobudur.
Aku mulai menarik nafas sesak. Tanpa kusadari setitik air suci dari mataku mulai jatuh membasahi pipiku.
“Linda kangen sekali pada ibu.” Ucapku lirih sambil menahan air mata agar tidak jatuh lebih banyak. Karena aku pasti akan merasa malu jika tante Lusi melihatku.
Ibuku belum lama meninggal. Sedangkan ayahku pergi entah kemana. Itu sebabnya aku tinggal bersama om Firman dan tante Lusi.
***
Seminggu berlalu. Keluarga Yusuf mengundangku untuk ikut makan malam bersama di apartemennya. Kebetulan aku sudah kenal benar dengan keluarga Yusuf. Malam itu adalah malam yang paling bersejarah dalam hidupku.
Waktu sudah menunjukkan angka setengah delapan malam hari. Sebuah mobil Honda Jazz berwarna merah kini terparkir di halaman rumah tanteku. Itu mobil Yusuf. Ia datang untuk menjemputku.
Singkat cerita, aku sudah sampai di apartemen milik ayah Yusuf. Aku makan dengan menu yang luar biasa mewah. Bukan tahu dan tempe yang setiap hari kumakan dirumah.
Selesai makan malam, Rara menarikku ke taman belakang. Disitu kami ngobrol banyak.
“Mbak Linda nginep sini aja. Nanti biar tidur dikamar Rara.” Ucapnya lirih.
“Hmm.. apa itu nggak terlalu merepotkan Rara ya?” tanyaku.
“Ya nggak dong, mbak. Rara malah senang kalau mbak mau nginep disini.”
“Ya sudah, mbak mau.” Jawabku sambil tersenyum. “Waah, berarti Rara pindah sekolah ke Jakarta juga dong?” kataku mencari topik pembicaraan yang lain.
“Iya, mbak. Mau gimana lagi. Sebenarnya Rara cape pindah-pindah melulu.” Katanya sambil nyengir kuda.
“Rara mau pindah sekolah dimana?”
“Besok mau diantar ke SMAN 176 sama mas Yusuf.” tawa senang kembali terpasang di bibirnya.
Entah mengapa tiba-tiba Rara pingsan. Dia terjatuh di pangkuanku. Rasa bingung mulai menghampiriku.
“Yusuuf!! Om! Tante! Tolong. Rara pingsan!” seruku. Mereka langsung berlari dari ruang tengah menuju ke taman.
“Ya ampun Rara?! Kenapa kamu, nak?” kata tante Sukma. Yusuf langsung membopong Rara masuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
Suasana semakin tegang saat sudah sampai dirumah sakit. Aku dan tante Sukma berlari mendekati seorang dokter yang baru keluar dari kamar Rara.
“Anak saya kenapa, dok?” tanya tante Sukma dengan cemasnya.
“Anak ibu mengidap kanker otak stadium akhir.” Jawab dokter itu sambil memegang pundak tante Sukma. “Kemungkinan hidupnya tidak akan bertahan lama. Saya harap ibu tabah menerimanya.” Katanya lagi.
Tangis tante Sukma semakin menjadi-jadi. Aku pun demikian. Detak jantungku semakin kacau kurasakan. Kupeluk erat tante Sukma.
Aku mulai berjalan mendekati kamar dimana Rara tengah berjuang melawan maut. Sudah hampir lima jam lebih kami berada dirumah sakit. Kulihat tubuh lemas Rara yang terbaring di atas ranjang dari kaca kecil di balik pintu. Kasihan dia. Harusnya malam ini menjadi malam pertama dia tidur bersamaku. Itu yang ia inginkan.
Suara cekikik tawa saat di taman tadi masih terdengar jelas di telingaku. Air mataku kembali menetes.
Aku berlari ke arah musola kecil di rumah sakit. Kukerjakan solat malam setelah kuambil air wudhu.
Aku mendongakan kepalaku dan menengadahkan tanganku meminta kepada-Nya agar Rara bisa sembuh.
“Tuhan. Lindungi Rara. Kami semua menyayanginya. Kami semua ingin melihat dia sembuh. Izinkan dia untuk bisa meraih mimpi-mimpinya. Sembuhkanlah dia, Tuhan.” Ucapku seraya membenamkan wajahku di kedua tanganku dan mulai kembali ke kamar Rara dengan membawa sejuta harapan agar Rara sadar dan sembuh. Namun Tuhan berkehendak lain. Rara telah pergi. Dia sudah tidak ada.
“Raraa!!!!” tante Sukma menjerit sambil memeluk tubuh Rara yang sudah terbujur kaku. Aku kasihan melihat tante Sukma. Aku menghampirinya kemudian memeluknya. Air mata semakin deras membasahi pipiku.
***
“Sudahlah tante. Linda yakin kalau Rara akan tenang di alamnya yang sekarang.” Ucapku dengan penuh hati-hati.
“Dia masih kecil. Mengapa bukan aku saja yang pergi.” Katanya sambil menaburkan bunga di makam Rara. Suasananya sudah mulai terasa sunyi. Orang-orang yang datang melayat pun sudah pulang. Hanya aku, tante Sukma, om Agum dan Yusuf yang masih tersisa.
“Hus! Mama nggak boleh bicara seperti itu. Rara sudah tidak ada, Ma. Biarkan dia tenang di alamnya.” Kata Yusuf dengan penuh sabar.
***
“”Maaf nyonya, barusan saya temukan ini di bawah meja belajar non Rara saat saya sedang menyapu lantai kamarnya.” Kata bi Surti setengah berbisik kepada tante Sukma seraya memberikan sebuah surat saat acara yasinan tengah berlangsung. Tante Sukma langsung bergegas membawa surat itu ke kamar dan langsung membacanya.
Untuk mama,
Mungkin saat mama membaca surat ini, Rara sudah nggak ada. Ma, maafkan Rara karena sudah lama Rara merahasiakan tentang penyakit ini. Rara nggak mau melihat mama sedih karena penyakit Rara ini. Sebenarnya ada satu keinginan rara, ma.
Rara ingin sekali melihat mas Yusuf bahagia. Rara tau kalau mas Yusuf sangat menyayangi mbak Linda, begitu pula dengan mbak Linda. Rara ingin mereka bersatu, ma. Rara ingin mereka menikah. Sekalii ini aja, kabulin permintaan rara ini ya, ma. Rara mohon.
Dari Rara
“Bi, tolong panggilkan Linda. Bawa dia kesini.” Printahnya pada bi Surti yang berada disampingnya. Bi surti langsung bergegas keluar kamar sambil berlari-lari kecil untuk memanggilku.
“Ada apa, tante?” tanyaku penasaran saat sudah sampai di kamar. Tante Sukma tidak menjawab. Dia hanya memberikan selembar kertas kepadaku. Kubuka lipatannya dan segera kubaca isinya.
“Kamu mau kan mengabulkan permintaan Rara itu?” kata tante Sukma penuh harap. Kulihat air mata mulai mengalir dipipinya.
“Iya tante. Linda ikhlas. Semua demi Rara.” Jawabku sambil menghapus air mata di pipi tante Sukma, lalu ku peluk erat tubuhnya.
***
Hari itu tiba. Aku mengenakan kebaya putih lengkap dengan rambutku yang di sanggul. Kulihat yusuf yang mengenakan celana dasar panjang, kemeja, jas dan dasi. Dia sungguh terlihat tampan mengenakannya.
Aku merasa sedih, namun bahagia. Aku sedih karena Rara tidak hadir di acara pernikahanku. Namun aku bahagia, karena Yusuf telah menjadi milikku seutuhnya.
Aku menggenggam erat tangan Yusuf saat di pelaminan. Kubisikkan kata aku sayang kamu ditelinganya. Ia membalasnya dengan anggukan sambil tersenyum bahagia.
ich mag diese kurze Geschichte