PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
NOMOR 35 TAHUN 1991
TENTANG
SUNGAI
PRESIDEN REPUBLIK
Menimbang | : | a. bahwa sungai sebagai sumber air sangat penting fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pembangunan nasional; |
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, dalam rangka pemanfaatan dan pelestarian sungai dipandang perlu melakukan pengaturan mengenai sungai yang meliputi perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian sungai dengan Peraturan Pemerintah; | ||
Mengingat | : | 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; |
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); | ||
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); | ||
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); | ||
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225), | ||
6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409); |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan | : | PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK TENTANG SUNGAI. |
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.
2. Danau adalah bagian dari sungai yang lebar dan kedalamannya secara alamiah jauh melebihi ruas-ruas lain dari sungai yang bersangkutan.
3. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bangunan sungai dalam hal ini bangunan bendungan, dan berbentuk pelebaran alur/badan/palung sungai.
4. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai.
5. Bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam.
6. Bangunan sungai adalah bangunan yang berfungsi untuk perundungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian sungai.
7. Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai.
8. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Tingkat I.
9. Badan usaha milik Negara adalah badan usaha milik Negara yang dibentuk untuk melakukan pembinaan, pengusahaan, eksploitasi dan pemeliharaan sungai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10. Pejabat yang berwenang adalah Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
11. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang Pengairan.
Bagian Kedua
Lingkup Pengaturan
Pasal 2
Lingkup pengaturan sungai berdasarkan Peraturan Pemerintah ini mencakup perlindungan, pengembangan, penggunaan, dan pengendalian sungai termasuk danau dan waduk.
BAB II
PENGUASAAN SUNGAI
Pasal 3
(1) Sungai dikuasai oleh Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab penguasaan sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan Menteri.
Pasal 4
Dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab penguasaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Menteri menetapkan :
a. garis sempadan sungai.
b. pengaturan daerah diantara dua garis sempadan sungai yang ditetapkan sebagai daerah manfaat sungai dan daerah penguasaan sungai.
c. pengaturan bekas sungai.
Pasal 5
(1) Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan dengan batas lebar sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
(2) Garis sempadan sungai tidak bertanggul ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh Pejabat yang berwenang.
(3) Garis sempadan sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul yang berada di wilayah perkotaan dan sepanjang jalan ditetapkan tersendiri oleh Pejabat yang berwenang.
Pasal 6
(1) Pengelolaan lahan pada daerah manfaat sungai dilakukan Menteri.
(2) Pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai dan daerah penguasaan sungai dilakukan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Menteri.
(3) Pemanfaatan lahan pada bekas sungai diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB III
FUNGSI SUNGAI
Pasal 7
(1) Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan manusia.
(2) Sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.
BAB IV
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB PEMBINAAN
Pasal 8
Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai ada pada Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri,
Pasal 9
(1) Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik Negara.
(2) Pelimpahan wewenang dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak melepaskan tanggung jawab Menteri dalam pembinaan sungai.
Pasal 10
Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sepanjang belum dilimpahkan kepada badan usaha milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
PERENCANAAN SUNGAI
Pasal 11
(1) Perencanaan dalam rangka pelaksanaan pembinaan sungai diselenggarakan oleh Menteri berdasarkan kesatuan wilayah sungai.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi kegiatan :
a. inventarisasi dan registrasi sungai, bangunan-bangunan sungai dan bangunan lain yang berada di sungai;
b. inventarisasi potensi dan sifat-sifat sungai;
c. pengamatan dan evaluasi terhadap banjir, neraca air dan mutu air;
d. penetapan rencana pembinaan sungai dan penetapan pedoman pelaksanaan pembinaan sungai;
e. koordinasi atas rencana yang dibuat oleh pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan dan penggunaan sungai.
(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau badan usaha milik Negara berdasarkan kesatuan wilayah sungai yang berada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya masing-masing.
BAB VI
PEMBANGUNAN BANGUNAN SUNGAI
Pasal 12
(1)Pembangunan bangunan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum diselenggarakan oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara.
(2)Pembangunan bangunan sungai selain untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan setelah memperoleh ijin dari Pejabat yang berwenang.
(3) Pembangunan bangunan sungai dilakukan berdasarkan standar konstruksi bangunan yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB VII
EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN SUNGAI DAN BANGUNAN SUNGAI
Pasal 13
(1) Eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan evaluasi.
(2) Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum dalam rangka pembinaan sungai dilakukan oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara.
(3) Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang pembangunannya dilakukan oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dilakukan oleh yang bersangkutan.
BAB VIII
PENGUSAHAAN SUNGAI DAN BANGUNAN SUNGAI
Pasal 14
(1) Pengusahaan sungai dan/atau bangunan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan pengusahaan sungai dan/atau bangunan sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara.
(3) Selain diusahakan oleh badan usaha milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pengusahaan sungai dan/atau bangunan sungai dapat dilakukan oleh badan hukum, badan sosial dan perorangan setelah memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang.
BAB IX
PEMBANGUNAN, PENGELOLAAN DAN PENGAMANAN WADUK
Bagian Pertama
Pembangunan
Pasal 15
(1) Pembangunan waduk dilakukan sesuai dengan rencana pembinaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Pembangunan waduk yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum diselenggarakan oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara.
(3) Pembangunan waduk yang dilakukan oleh badan hukum, badan sosial, atau perorangan harus terlebih dahulu mendapat ijin penggunaan air dan/atau sumber air dari Pejabat yang berwenang dan dilaksanakan berdasar pada rencana teknis yang telah disahkan oleh Menteri.
(4) Penggunaan lahan yang diperlukan untuk membangun waduk harus diselesaikan menurut tata cara yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Dampak sosial yang mungkin timbul sebagai akibat pembangunan waduk, harus ditangani secara tuntas dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengelolaan
Pasal 16
(1) Pengelolaan waduk merupakan kegiatan yang terdiri dari eksploitasi dan pemeliharaan waduk.
(2) Eksploitasi dan pemeliharaan waduk merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan fungsi waduk sesuai dengan tujuan pembangunannya.
(3) Eksploitasi dan pemeliharaan waduk meliputi kegiatan kegiatan :
a. pemantauan muka air waduk,
b. pengaturan penggunaan waduk untuk masing-masing kebutuhan;
c. pengaturan pemeliharaan bendungan;
d. pengaturan sistem pelaporan, evaluasi dan gawar banjir.
(4) Pengelolaan waduk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh masing-masing pihak yang membangun waduk yang bersangkutan sesuai dengan pedoman pengoperasian waduk yang ditetapkan oleh Menteri dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengamanan
Pasal 17
(1) Pengamanan waduk merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan waduk dan lingkungannya.
(2) Pengamanan waduk meliputi kegiatan-kegiatan :
a. pengamanan daerah sabuk hijau;
b. pemeriksaan secara berkala atas bendungan, waduk dan lingkungannya,
c. pengamanan dalam kaitannya dengan pemanfaatan waduk.
(3) Pengamanan waduk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh masing-masing pihak yang membangun waduk yang bersangkutan.
(4) Tata cara pengamanan waduk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
BAB X
PENANGGULANGAN BAHAYA BANJIR
Pasal 18
Dalam rangka penanggulangan bahaya banjir Pemerintah menetapkan :
a. tata cara penanggulangan bahaya banjir;
b. pengelolaan dataran banjir termasuk penetapan daerah retensi;
c. pedoman tentang langkah-langkah penanggulangan bahaya banjir baik sebelum, selama maupun sesudah banjir.
Pasal 19
Gubernur Kepala Daerah mengkoordinasikan usaha penanggulangan bahaya banjir di daerahnya dengan mengikutsertakan Instansi Pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan.
Pasal 20
Dalam keadaan yang membahayakan, Gubernur Kepala Daerah berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan pengamanan bahaya banjir.
Pasal 21
Bantaran sungai, daerah retensi, dataran banjir dan waduk banjir selain berfungsi untuk pengendalian banjir dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya dengan syarat-syarat dan tata cara yang ditetapkan Menteri.
BAB XI
PENGAMANAN SUNGAI DAN BANGUNAN SUNGAI
Bagian Pertama
Pengamanan Sungai
Pasal 22
(1) Pejabat yang berwenang bersama-sama dengan pihak lain yang bersangkutan, masing-masing sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, menyelenggarakan upaya pengamanan sungai dan daerah sekitarnya yang meliputi :
a. pengelolaan daerah pengaliran sungai;
b. pengendalian daya rusak air;
c. pengendalian pengaliran sungai.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan pengelolaan daerah pengaliran sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan pengendalian pengaliran sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c diatur lebih lanjut oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan Departemen dan/atau Lembaga lain yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pengamanan Bangunan Sungai
Pasal 23
Pejabat yang berwenang dan pihak lain yang membangun bangunan sungai menyelenggarakan upaya pengamanan bangunan sungai sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Menteri.
BAB XII
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Pasal 24
Masyarakat wajib ikut serta menjaga kelestarian rambu-rambu dan tanda-tanda pekerjaan dalam rangka pembinaan sungai.
Pasal 25
Dilarang mengubah aliran sungai kecuali dengan ijin Pejabat yang berwenang.
Pasal 26
Mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin dari Pejabat yang berwenang.
Pasal 27
Dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga membahayakan dan/atau merugikan penggunaan air yang lain dan lingkungan.
Pasal 28
Mengambil dan menggunakan air sungai selain untuk keperluan pokok sehari-hari hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin teriebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
Pasal 29
(1) Melakukan pengerukan atau penggalian serta pengambilan bahan-bahan galian pada sungai hanya dapat dilakukan ditempat yang telah ditentukan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Pejabat yang berwenang.
BAB XIII
PEMBIAYAAN
Pasal 30
(1) Pembiayaan pembangunan bangunan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum ditanggung oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara.
(2) Pembiayaan pembangunan bangunan sungai untuk usaha-usaha tertentu yang diselenggarakan oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan ditanggung oleh yang bersangkutan.
(3) Masyarakat yang secara langsung memperoleh manfaat dari pembangunan bangunan sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diikut sertakan dalam pembiayaan untuk pembangunan bangunan tersebut sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya.
Pasal 31
(1) Pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan dan/atau keselamatan umum ditanggung oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing.
(2) Pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan/atau bangunan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) ditanggung oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan yang bersangkutan.
(3) Masyarakat yang secara langsung memperoleh manfaat dari adanya bangunan sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diikutsertakan dalam pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan tersebut sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 32
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan pembinaan sungai dilakukan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Pengawasan atas penyelenggaraan pembinaan sungai yang telah dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan, dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah.
(3) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 33
Dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 dan peraturan perundang-undangan lainnya:
a. barangsiapa untuk keperluan usahanya hanya melakukan pembangunan bangunan sungai tanpa ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3);
b. barangsiapa melakukan pengusahaan sungai dan bangunan sungai tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
c. barangsiapa mengubah aliran sungai, mendirikan,mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai, mengambil dan menggunakan air sungai untuk keperluan usahanya yang bersifat komersil tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27;
d. barangsiapa membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan perundang-undangan mengenai sungai yang telah ada sepanjang tidak bertentangan ataupun belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1991.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 1991
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 1991
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 1991
TENTANG
SUNGAI
UMUM
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan telah mengatur landasan pokok dalam menyelenggarakan pengaturan mengenai air dan sumber air. Beberapa peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah ditetapkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa. Selain itu masih diperlukan adanya peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya agar dapat mencakup seluruh permasalahan mengenai air antara lain mengenai sungai. Pengaturan masalah sungai sebagai sumber air, diperlukan agar sungai dapat dikelola dengan mantap serta dapat digunakan secara optimal bagi kepentingan masyarakat secara tertib dan teratur. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa air semakin langka sedangkan permintaan akan pelayanan air semakin meningkat sebagai akibat adanya perkembangan penduduk dan teknologi, ditambah dengan menurunnya mutu air beserta sumber-sumbernya. Oleh karena itu, perlu ada pengaturan yang mendukung usaha-usaha pelestarian fungsi sungai sebagai sumber air. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 11 Tahun 19'74 dinyatakan bahwa Pemerintah menetapkan tata cara pembinaan dalam rangka kegiatan pengairan menurut bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi dan peranannya. Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 10 tersebut di atas ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi dan peranannya ialah seperti pembinaan sungai, irigasi, air untuk industri, air untuk usaha perkotaan, air bersih untuk minum dan keperluan rumah tangga lainnya dan sebagainya. Hal ini berarti perlu ada pengaturan yang bersifat menyeluruh dalam pembinaan sungai, yang mencakup perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendaliannya.
2. Untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi sungai sebagai sumber air, maka dalam rangka melaksanakan penguasaan sungai, perlu ditetapkan adanya garis sempadan di sepanjang sungai. Pada lahan yang dibatasi garis sempadan tersebut dilakukan pembatasan-pembatasan atas penggunaan lahan baik pada daerah manfaat maupun daerah penguasaan sungai.
3. Dalam rangka pelaksanaan penguasaan sungai, Menteri diberi wewenang dan tanggungjawab pembinaan sungai. Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air yang merupakan landasan kebijaksanaan untuk mengatur lebih lanjut tata cara pembinaan dalam kegiatan pengairan, maka dalam Peraturan Pemerintah ini ditegaskan bahwa pola pembinaan sungai ditetapkan berdasarkan pada kesatuan wilayah sungai. Berdasarkan pola pembinaan tersebut, maka wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa wilayah sungai yang akan ditetapkan oleh Menteri. Dengan demikian sungai-sungai di wilayah Indonesia akan terbagi ke dalam wilayah-wilayah sungai dimaksud. Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai tersebut dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan atau badan usaha milik Negara yang dibentuk untuk melakukan pembinaan dan pengusahaan sungai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Untuk mencapai keterpaduan yang menyeluruh dalam perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian sungai, bagi tiap kesatuan wilayah sungai disusun perencana pembinaan sungai yang ditetapkan oleh Menteri.
5. Pembangunan di bidang sungai dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
a. Pembangunan sungai, termasuk pendirian bangunan-bangunan sungai sebagai pelengkapnya, dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum dan yang ditujukan untuk memberikan manfaat untuk sesuatu kepentingan.
b. Pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara, sedangkan yang ditujukan untuk memberikan manfaat untuk sesuatu kepentingan diselenggarakan oleh pihak-pihak, yang berkepentingan berupa badan hukum, badan sosial atau perorangan berdasarkan ijin serta syarat-syarat tertentu.
c. Bagi kedua jenis kegiatan tersebut, masyarakat dapat diikut sertakan, baik dalam bentuk pembiayaan maupun dalam bentuk lain. Yang dimaksud untuk kesejahteraan dan keselamatan umum ialah pada dasarnya tidak memberikan keuntungan nilai ekonomi secara langsung. Sedangkan yang dimaksud dengan yang ditujukan untuk memberikan manfaat untuk suatu kepentingan, ialah yang memberikan keuntungan nilai ekonomi secara langsung.
6. Selain sungai merupakan salah satu sumberdaya air, juga memiliki potensi yang lain yaitu sebagai sumber bahan galian khususnya bahan galian berupa pasir dan batu. Untuk mendayagunakan dan menjaga kelangsungan fungsi sungai dan bangunan sungai, maka kegiatan-kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan dilakukan dengan tetap menjaga fungsi sungai dan bangunan sungai.
7. Dalam rangka menumbuhkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional, maka masyarakat diikut sertakan dalam kegiatan pembangunan, eksploitasi dan pemeliharaan sungai, penanggulangan bahaya banjir, maupun pengamanan sungai, sehingga dapat merasa ikut memiliki dan dengan demikian ikut merasa bertanggung jawab, misalnya dengan memikul sebagian tanggung jawab pembiayaan pembangunan, eksploitasi dan pemeliharaan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Istilah-istilah yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan agar supaya terdapat keseragaman pengertian atas isi Peraturan Pemerintah ini, sehingga dapat menghindarkan kesalahpahaman dalam penafsirannya.
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Tata pengairan adalah susunan dan letak sumber-sumber air dan/atau bangunan-bangunan pengairan menurut ketentuan-ketentuan teknik pembinaan di suatu wilayah pengairan tertentu. Daerah pengaliran sungai adalah suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah dimana air meresap dan/atau mengalir melalui sungai dan anak-anak sungai yang bersangkutan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan palung sungai adalah cekungan yang terbentuk oleh aliran air secara alamiah, atau galian untuk mengalirkan sejumlah air tertentu.
Angka 6
Bangunan sungai dimaksud adalah misalnya bendungan, bendung, tanggul, pintu air, bangunan pembagi banjir, krib, bangunan pelindung tebing dan sebagainya.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Pasal 2
Yang dimaksud dengan perlindungan sungai adalah upaya pengamanan sungai terhadap kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh tindakan manusia dan alam. Pengembangan sungai adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sungai sebesar-besarnya tanpa merusak keseimbangan sungai dan lingkungannya. Penggunaan sungai adalah upaya memanfaatkan sungai. Pengendalian sungai adalah upaya untuk lebih memantapkan aliran sungai sepanjang tahun, guna memperoleh kemanfaatan sungai sebesar-besarnya, dan mengurangi/meniadakan daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Yang termasuk dalam daerah manfaat sungai adalah mata air, palung sungai, dan daerah sempadan yang telah dibebaskan. Yang termasuk dalam daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat tingkat kepadatan penggunaan lahan di daerah perkotaan terutama yang terletak di sepanjang jalan sangat tinggi, maka penetapan garis sempadan sungai yang berada pada lokasi tersebut perlu ditetapkan lain dengan ketentuan yang berlaku bagi garis sempadan sungai pada umumnya.
Pasal 6
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab penguasaan sungai yang dilakukan oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Prioritas pemanfaatan lahan ditujukan untuk mengganti lahan yang terkena alur sungai baru.
Pasal 7
Ayat (1)
Sungai mempunyai fungsi yang luas antara lain yaitu sebagai penyedia air, prasarana transportasi, penyedia tenaga, penyedia material, sarana penyaliran (drainase), dan sarana rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Wewenang dan tanggung jawab pembinaan tersebut mencakup segala kegiatan pembinaan dalam rangka perlindungan, pengembangan, penggunaan, dan pengendalian sungai, antara lain meliputi perencanaan, perencanaan teknis, pembangunan, eksploitasi dan pemeliharaan, pengusahaan, penanggulangan bahaya banjir, pengamanan dan pengawasan. Untuk melaksanakan ketentuan ini, Menteri menetapkan antara lain pola pembinaan sungai yang didasarkan pada kesatuan wilayah sungai.
Pasal 9
Ayat (1)
Badan usaha milik Negara tesebut mempunyai tugas pokok mengembangkan dan mengusahakan air dan/atau sumber air untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat dengan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup. Badan usaha milik Negara tersebut berada di bawah pembinaan Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Rencana sebagai hasil perencanaan yang diatur dalam Pasal ini menjadi bahan bagi penyusunan Rencana Pembinaan Sungai Nasional yang ditetapkan oleh Menteri. Selanjutnya Rencana Pembinaan Sungai Nasional tersebut merupakan bagian dari Rencana Pengembangan Sumber-sumber Air Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan neraca air adalah keseimbangan antara jumlah air yang tersedia di sungai dengan penggunaannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud untuk kesejahteraan dan keselamatan umum ialah pada dasarnya tidak memberikan keuntungan nilai ekonomi secara langsung.
Ayat (2)
Pembangunan bangunan sungai dalam ketentuan ini ditujukan untuk memberikan manfaat untuk suatu kepentingan, yaitu yang memberikan keuntungan nilai ekonomi secara langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan eksploitasi sungai adalah usaha pengaturan dan pengalokasian sumber daya air dan sumber daya alam lainnya yang berada di sungai untuk tujuan pendayagunaan secara optimum. Pemeliharaan sungai, adalah usaha-usaha yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sungai sebagai sumber daya, serta untuk menjamin kelestarian fungsi bangunan sungai. Perencanaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai antara lain meliputi kegiatan-kegiatan:
1. inventarisasi kondisi sungai dan bangunan sungai.
2. penyusunan urutan prioritas sungai dan bangunan sungai yang memerlukan pemeliharaan.
3. penyusunan pedoman eksploitasi dan pemeliharaan bangunan sungai. Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai meliputi kegiatan-kegiatan:
1. eksploitasi bangunan sungai termasuk semua instrumen yang merupakan bagian dari sistem pengendalian banjir.
2. pemeliharaan fisik sungai dan bangunan sungai.
3. pemeliharaan peralatan gawar banjir.
4. pemeliharaan kendaraan dan peralatan operasionil.
5. pemeliharaan bangunan kantor dan fasilitas kerja yang bersangkutan dengan pelaksanaan kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan sungai.
6. pemeliharaan alat-alat pemantau sungai dan keamanan bangunan sungai.
7. pemasangan tanda batas garis sempadan sungai. Pengamatan dan evaluasi dalam kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan sungai antara lain meliputi kegiatan-kegiatan:
1. pemantauan kuantitas dan kualitas air sungai.
2. pemantauan kapasitas palung sungai dan bangunan sungai.
3. peninjauan secara periodik terhadap pedoman eksploitasi dan pemeliharaan sungai.
4. pemantauan keamanan sungai dan bangunan sungai. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air. Pembangunan sebuah waduk dapat ditujukan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan (waduk serbaguna) atau hanya untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya pengendalian banjir, pembangkit tenaga listrik, irigasi, penyediaan air minum atau air industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan gawar banjir (flood warning) adalah peringatan dini akan adanya banjir.
Ayat (4)
Pelaksanaan pengelolaan waduk sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat diserahkan kepada pihak lain.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
a. Penetapan sabuk hijau dilakukan oleh Pejabat yang berwenang berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomis, teknis dan lingkungan.
b. Pemeriksaan dilakukan antara lain terhadap longsoran, runtuhan, rembesan, dan bocoran serta masalah lain yang mengidentifikasikan adanya ketidakstabilan waduk atau bendungan,
c. Pengawasan dalam kaitannya dengan pemanfaatan waduk misalnya pemasangan rambu-rambu peringatan tentang tempat yang berbahaya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengaturan oleh Menteri dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang membahayakan waduk dan lingkungannya antara lain dengan menetapkan pedoman pengamanan waduk.
Pasal 18
Pasal ini memberikan landasan kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan secara khusus dalam hal terjadi bencana banjir yang membawa akibat kerugian harta benda maupun jiwa, mengingat penanggulangannya akan melibatkan beberapa instansi Pemerintah.
Pasal 19
Ketentuan ini sesuai dengan kedudukan Gubernur Kepala Daerah dalam Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana.Nasional.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan tindakan darurat dalam ketentuan ini misalnya, pengosongan daerah permukiman, penghentian lalu lintas, pengerahan masyarakat untuk ikut menanggulangi bahaya banjir dan sebagainya.
Pasal 21
Dalam keadaan aman, bantaran sungai, daerah retensi, dataran banjir dan waduk banjir, merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan tertentu, akan tetapi penggunaannya perlu diatur dengan maksud agar dicapai kemanfaatan yang setinggi-tingginya tanpa merusak fungsi sungai dan bangunan sungai. Hal-hal yang perlu diatur misalnya mengenai jenis tanaman yang boleh ditanam dipilih yang tidak akan mengganggu fungsi bantaran dan/atau daerah sempadan yang bersangkutan dan larangan menanam tanaman keras dan sebagainya.
Pasal 22
Ayat (1)
Dalam pengendalian pengaliran sungai sebagaimana tercantum pada huruf c ayat ini termasuk pula kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan bangunan sungai.
Ayat (2)
Pengaturan dengan Keputusan Presiden diperlukan mengingat masalah yang berkaitan dengan pengelolaan daerah pengaliran sungai merupakan masalah lintas sektoral.
Ayat(3)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Yang dimaksud dengan masyarakat dalam ketentuan ini adalah masyarakat dalam arti luas, tidak hanya terbatas kepada yang memanfaatkan sungai dan/atau bangunan sungai saja. Yang dimaksud dengan rambu-rambu dan tanda-tanda pekerjaan dalam ketentuan ini, antara lain adalah: -Papan nama sungai. -Papan nama pelaksanaan pekerjaan persungaian. -Tanda atau papan pemberitahuan tentang anjuran dan/atau larangan. -Rambu-rambu penunjuk arah navigasi. -Patok-patok batas sempadan sungai. -Tanda duga muka air.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan mengubah aliran sungai antara lain memindahkan, memperlebar, mempersempit, menutup aliran.
Pasal 26
Bangunan-bangunan yang dimaksud dalam ketentuan ini antara lain pipa gas, pipa minyak, talang air, jembatan, kabel layang listrik atau telepon, jalan kereta api.
Pasal 27
Yang dimaksud diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air sebagaimana tercantum pada pasal ini, adalah apabila kuantitas atau kualitas limbah yang bersangkutan melewati ambang batas tertentu. Batas tersebut ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang atas dasar pertimbangan-pertimbangan khusus tentang sifat hidrologis masing-masing sungai yang bersangkutan serta situasi penggunaan airnya.
Pasal 28
Semua pengambilan dan penggunaan air sungai untuk keperluan seperti tersebut pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 harus memperoleh izin Menteri. Izin penggunaan air sungai untuk pembangkit tenaga listrik sesuai dengan ketentuan pada Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tetap diberikan oleh Menteri. Di samping itu mengingat penggunaan air sungai diperlukan untuk melayani berbagai kepentingan/kebutuhan, maka untuk tercapainya pemanfaatan yang sebesar-besarnya dan merata, dalam rangka pemberian izin, Pejabat yang berwenang harus selalu memperhatikan urutan prioritas pemanfaatan air sebagaimana tercantum pada penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam hal wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai yang ditugas pembantuankan kepada Pemerintah Daerah, maka ketentuan dalam ayat ini diartikan bahwa sumber biaya tetap berasal dari Pemerintah Pusat yang disalurkan kepada Pemerintah Daerah. Namun dalam hal ini tidak berarti melarang Pemerintah Daerah untuk menyediakan dana bagi biaya pembangunan bangunan sungai yang dianggap perlu.
Ayat (2)
Usaha-usaha yang tertentu yang dimaksud dalam ayat ini ialah usaha yang manfaatnya terbatas bagi kelompok masyarakat yang berkepentingan.
Ayat (3)
Ketentuan ini berpedoman pada Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini mulai tanggal 3 Desember 1991, dimaksudkan untuk memberikan. kesempatan kepada aparat Pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengetahuinya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
NOMOR 82 TAHUN 2001
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
PRESIDEN REPUBLIK ,
Menimbang :
a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan;
b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil;
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara;
3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya;
4. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan mutu air;
5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu;
7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air;
8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas-nya, dan atau fungsi ekologis;
9. mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air;
10. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan mutu air yang ditetapkan;
11. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah;
13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
14. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair;
15. mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan;
16. Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/ Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
17. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem.
(2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada :
a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c. akuifer air tanah dalam.
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Wewenang
Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendayagunaan Air
Pendayagunaan Air
Pasal 7
(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ menyusun rencana pendayagunaan air.
(2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat.
(3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan atau fungsi ekologis.
Bagian Ketiga
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air
Pasal 8
(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 9
(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada:
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi.
c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota .
(2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan berdasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
(4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Keempat
Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,
Dan Status Mutu Air
Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,
Dan Status Mutu Air
Pasal 10
mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah.
(2) mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
Pasal 12
(1) Pemerintah Propinsi dapat menetapkan :
a. mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dan atau
b. tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan mutu air dan penambahan parameter mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 13
(1) Pemantauan kualitas air pada :
a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah Kabupaten/Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota;
c. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah propinsi dan atau sumber air yang merupakan lintas batas negara kewenangan pemantauannya berada pada Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
(3) Pemantauan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Menteri.
(5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan :
a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air;
b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air.
(2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahan-kan dan atau meningkatkan kualitas air.
Pasal 16
(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air limbah dari dua atau lebih laboratorium maka dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Wewenang
Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaan air pada sumber air yang lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pence-maran air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/Kota.
Pasal 19
Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 20
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang :
a. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
e. memantau kualitas air pada sumber air; dan
f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.
Pasal 21
(1) mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
(2) mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air.
Pasal 23
(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 5 () tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk :
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air;
c. penetapan rencana tata ruang;
d. pemberian izin pembuangan air limbah;
e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagai-mana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah
Retribusi Pembuangan Air Limbah
Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Penanggulangan Darurat
Penanggulangan Darurat
Pasal 25
Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penang-gulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pasal 26
Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan.
BAB IV
PELAPORAN
PELAPORAN
Pasal 27
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a. tanggal pelaporan;
b. waktu dan tempat;
c. peristiwa yang terjadi;
d. sumber penyebab;
e. perkiraan dampak.
(3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Bupati/Walikota/ Menteri.
(4) Bupati/Walikota/Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib segera melakukan verifikasi untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya pelanggaran terhadap pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya pencemaran air
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadinya pelanggaran, maka Bupati/ Walikota/Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran dan atau pencemaran air serta dampaknya.
Pasal 28
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5) Bupati/Walikota/Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 29
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/Menteri.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama Hak
Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kewajiban
Kewajiban
Pasal 31
Setiap orang wajib :
a. melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
b. mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 32
Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 33
Comments :
0 komentar to “PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK”
Posting Komentar