I. Berawal Dari Do’a
Peran Orang Tua mendidik Anak |
II. Carikan Calon Bapak Dan Ibunya
Ibarat orang yang ingin sukses dalam berkebun agar mendapatkan hasil
yang memuaskan tentunya tidak boleh meremehkan kualitas benih yang akan
disemaikan. Secara teoritis kita sulit mengharapkan tanaman yang
berkualitas sementara benih yang kita semaikan adalah benih yang
sembarangan. Apalagi berharap memiliki anak yang berkualitas tentunya
siapa yang akan menjadi calon bapak dan calon ibunya harus dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya. Ketika kita akan menikah, di samping
mempertimbangkan apakah seorang ibu layak menjadi pasangan bagi saya
sekaligus kita harus mulai mempertimbangkan apakah seseorang itu juga
cocok menjadi calon bapak atau calon ibu bagi calon anak-anak saya
nanti. Q.S. 2:221, Q.S. 24:26, dll.
III. Siapkan Keluarga Sakinah
Benih tanaman yang berkualitas untuk menjadi tanaman berkualitas
haruslah disemaikan di lahan yang kondusif. Lahan yang kondusif itu
adalah keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, dan barokah (SAMARABA). Yaitu
suatu keluarga yang ditegakkan sebagai suatu organisasi yang solid.
Organisasi yang solid dibentuk untuk mencapai tujuan bersama dengan cara
kerja sama bukan sama-sama kerja. Apapun peran laki-laki dan perempuan
di sektor publik, di rumah tetap memiliki kedudukan yang tidak boleh
diotak-atik, laki-laki sebagai suami dan bapak, wanita sebagai istri dan
ibu dengan segala hak dan kewajibannya masing-masing.
Keluarga yang ideal menurut Al-Qur’an adalah keluarga Nabi Muhammad SAW
dan Nabi Ibrahim As dalam Q.S. 66:21-40, Q.S. 60:4-6, Q.S. 25:74. Bukan
keluarga Fir’aun Q.S. 66:11 apalagi keluarganya Abu Lahab Q.S. 111:1-5.
Atau mencontoh perilaku burung merpati, bukan ayam, puyuh, apalagi itik.
IV. Disyukuri Kehadirannya
Terlepas dari pertimbangan ekonomi, politik dan budaya yang bisa
berubah-ubah, pada dasarnya anak adalah anugrah, ni’mat bahkan dalam
do’a berhubungan suami-istri anak diistilahkan dengan “rizki”.
Kenikmatan itu pada dasarnya adalah hal yang positif tetapi dalam
kenyataannya bisa positif bisa negatif tergantung bagaimana kita
menyikapinya (Q.S. 14:7) termasuk anak. Bersyukur adalah menyikapi
kenikmatan secara positif dan kufur adalah menyikapi kenikmatan dengan
negatif. Apabila kita syukuri dengan benar sesuai dengan tuntunan yang
memberi nikmat (Islam), bukan mengikuti tradisi atau budaya barat.
Insya’alloh anak kita akan tumbuh kembang sebagaimana kita harapkan
(Q.S. 25:74) dan tidak akan menjadi fitnah (Q.S. 64:15) musuh (Q.S.
64:15) atau sekedar perhiasan dunia semata (Q.S. 3:14, Q.S. 18:4). Di
antara tuntunan syari’at menyambut kehadiran anak adalah dengan Aqiqah
pada hari ke-7nya.
V. Fahami Sifat Dasarnya
Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki potensi insaniyah
yang masing-masing diproses (pertumbunhan dan perkembangan) sebagai
makhluk yang paling sempurna (Q.S. 17:70), paling tidak manusia memiliki
lima dasar kecerdasan. RQ (Reflective Quotient= naluri), LQ (Libido
Quotient= syahwat), IQ (Intelligence Quotient= nalar), EQ (Emotional
Quotient= rasa), dan SQ (Spiritual Quotient= rohani).
Meskipun setiap anak dianugerahi lima potensi tadi namun setiap anak
adalah pribadi yang unik. Oleh karena itu setiap anak memiliki bakat
yang nanti akan bermanfaat dalam hidupnya (Q.S. 17:84). Oleh karena itu
orang tua harus mengenal betul dimensi mana yang paling menonjol di
antara lima dimensi di atas. Anak jangan dipaksa untuk tumbuh kembang
menyimpang dari kelebihan yang sudah dibawa sejak lahir. Namun anak juga
jangan dibiarkan berkembang di atas kemenonjolannya tanpa diimbangi
oleh dimensi yang lainnya. Keseimbangan itu lebih bermanfaat daripada
kemenonjolan.
VI. Pentingnya Nama Yang Baik
Sebagai pribadi yang unik, maka sudah menjadi kebiasaan setiap anak
setelah kelahirannya pasti diberi nama. Rasululloh SAW dalam hal itu
bersabda “...Fa ahsinyy asmaakum= karena itu pilihlah nama yang baik
bagi kalian” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). Bahkan beliau sering mengganti
nama orang apabila nama aslinya dianggap jelek. Pemberian nama yang
baik, yang kita barengkan dengan Aqiqah paling tidak di dalam nama itu
mengandung tiga hal yaitu: 1. Nama sebagai identitas, merk atau brand
sebagai panggilan yang baik. 2. Nama sebagai assesori, perhiasan,
mahkota yang dengannya anak merasa percaya diri, bangga, minimal tidak
malu atau minder. 3. Nama sebagai doa atau harapan yang memiliki makna
sesuai dengan potensi yang dibawa. Setelah diberi nama yang baik pada
saatnya anak harus dijelaskan tentang apa makna nama yang dimilikinya
agar memiliki dorongan untuk memiliki kepribadian sesuai dengan namanya.
VII. Butuh Tiga Ibu Dan Cukup Satu Bapak
Ketika Rasululloh SAW ditanya tentang siapa yang harus dimuliakan oleh
anak, beliau menjawab “Ibumu” tiga kali dan “Bapakmu” sekali. Hal ini
bisa dipahami bahwa seorang ibu memiliki tiga hak dan bapak satu hak.
Karena dalam proses tumbuh kembang anak, ibulah sosok yang paling
dominan. Ibu yang sempurna seharusnya berjuang maksimal untuk bisa
berperan sebagai ibu kandung, ibu susu, dan ibu guru. Idealnya anak
berhak nyaman dan aman dalam kandungan 9 bulan 10 hari , mendapat ASI
dua tahun penuh dan mendapat pendidikan dasar tiga tahun pertama dalam
hidupnya. Sedangkan bapak yang satu bertanggung jawab menciptakan sistem
yang kondusif yang memungkinkan istrinya bisa secara optimal
menjalankan tiga peran keibuan tersebut (Q.S. 2:223, Q.S. 46:15, dll).
VIII. Kenalkan Masa Depan Yang Sempurna
Perbedaan orang yang kafir dan yang beriman di antaranya adalah konsep
tentang “masa depan”. Masa depan orang kafir sekedar sebelum mati
sedangkan masa depan mu’min meliputi sebelum dan sesudah mati (Q.S.
2:200-201). Masa depan sebelum mati sifatnya mungkin sedangkan masa
depan sesudah mati sifatnya pasti. Masa depan sesudah matu harus
diseriusi sedangkan masa depan sebelum mati jangan dilupakan (Q.S.
28:77). Siapa yang sungguh-sungguh mencari akhirat akan mendapat
kemungkinan duniawi namun siapa yang hanya sibuk mencari dunia jangankan
mendapat kepastian masuk surga, bagian di duniapun belum tentu
mendapatkannya. Bisa jadi mati mendadak atau hidup menderita komplikasi.
IX. Bekali Ilmu Yang Memadai
Pada dasarnya setiap anak dilahirkan tanpa memiliki ilmu (Q.S. 16:78)
dan setiap manusia harus hidup berdasarkan ilmu (Q.S. 17:36). Maka
kewajiban orang tua di samping memenuhi kebutuhan pertumbuhan maka harus
dipenuhi pula kebutuhan perkembangannya. Paling tidak setiap anak
berhak untuk dibekali dengan tiga disiplin ilmu yaitu ilmu syar’i atau
agama untuk menghidupkan hatinya, ilmu profesi untuk menghidupkan
otaknya, dan ilmu beladiri untuk menghidupkan ototnya. Setiap anak
berhak untuk diantar menjadi takwa, cerdas, dan terampil sehingga mampu
menghadapi tiga masalah hidup yang tidak bisa dihindari oleh setiap
manusia yaitu: moralitas, relativitas, dan kriminalitas. Oleh karena itu
idealnya anak kita berhak untuk dididik menjadi Ulil Albab yaitu sosok
pribadi yang memiliki kemampuan sebagai ahli dzikir, ahli fikir, dan
ahli ikhtiar (Q.S. 3:190-191). Siap untuk menjadi aktivis masjid,
sekolah, dan lapangan. Terpadunya aspek afektif, kognitif, dan
psikomotorik. Untuk itu kita bgersyukur sudah banyak lembaga-lembaga
pendidikan islam terpadu yang siap membantu kita, tinggal kita saja yang
harus banyak duitnya sebab pendidikan ini belum mendapat perhatian dari
pemerintah. Mungkin dibutuhkan kemampuan kita untuk berjuang di dalam
politik pendidikan.
X. Diringankan Beban Eksternalnya
Anak-anak kita yang lahir dengan fitrahnya seharusnya dibantu oleh
kekuatan-kekuatan eksternal sehingga tumbuh kembang menjadi manusia yang
ideal. Namun kenyataannya anak kita justru dibingungkan oleh enam
kekuatan eksternal yuang kontradiktif atau belum memiliki kesamaan
orientasi. Keenam kekuatan itu adalah rumah, sekolah, dakwah, media, dan
kebijakan politik. Agar anak-anak kita menjadi ringan bebannya
seharusnya kita berusaha membantunya yaitu dengan membangun kerja sama
yang baik antara rumah, sekolah, dan dakwah untuk memiliki sikap yang
sama terhadap pengaruh media, pergaulan, dan kebijakan politik yang
tidak terkendali (Q.S. 5:2).
XI. Ajari Hidup Dari Realitas Dan Kendalikan Fasilitas
Hidup adalah perjuangan, setiap manusia diciptakan untuk menghadapi
kesulitan sekaligus diberi naluri untuk menemukan kemudahan. Antara
kesulitan dan kemudahan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisahkan (Q.S. 94:5-6). Oleh karena itu agar anak kita bisa mudah
menghadapi kesulitan-kesulitan hidup mereka harus kita ajari hidup
realistis. Setiap yang dia dapatkan hendaknya sebagai hasil dari
ikhtiarnya. Kita perlu menghidupkan lagi pepatahyang mengajarkan
berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Ajari mereka menjadi
perintis bukan menjadi pewaris, ajari mereka sebagai pengais bukan
sebagai pengemis, ajari mereka sebagai pelopor bukan sebagai pengekor,
ajari mereka sebagai penggerak bukan sebagai penggertak, ajari mereka
sebagai pemain bukan sebagai mainan. Jangan mentang-mentang kita sukses
secara ekonomi dan mampu memanjakan mereka lantas kita perlakukan mereka
sebagai ayanm sayur yang besar dari fasilitas bukan dari realitas,
sehingga mereka menjadi sosok yang steril tetapi tidak imun, ada
kesulitan sedikit seakan-akan dunia sudah kiamat. Mungkin kita perlu
mengambil ibrah dari bagaimana ayam kampung mengantar anak-anak mereka
untuk menjadi penakluk yang tahan banting.
XII. Ajari Mereka Memahami Tahapan Kedhidupan (Manajemen Umur)
Hidup sebagai proses haruslah dilewati tahap demi tahap (Q.S. 84:19).
Bila sudah menyelesaikan suatu tahapan cepat bersiap untuk memasuki
tahapan berikutnya (Q.S. 94:7-8). Secara sederhana tahapan itu bisa
dikaitkan dengan ukuran umur. Umur anusia sekarang memiliki harapan
hidup antara 60-70 tahun. Paling tidak agar anak kita dapat melewati
tahapan-tahapan yang benar kita beri pengarahan melewati tahapan hidup
per 20 tahunan. Tahapan pertama usia 0-20 tahun titik tekannya adalah
untuk penguasaan teori-teori kehidupan atau mencari ilmu yang meliputi
ilmu syar’i, profesi, dan beladiri (Q.S. 16:78, Q.S. 17:36). Tahapan
kedua usia 20-40 titik tekannya untuk menguasai materi sebagai citra
dunia atau perhiasan dunia sehingga usia 40 sudah memiliki status al
amin atau yang dapat dipercaya di masyarakatnya (Q.S. 3:14). Tahapan
yang ketiga usia 40-60 titik tekannya pada penguasaan nilai-nilai
kehidupan agar hidup terhormat, mulia, bahagia, dan berwibawa (Q.S.
46:15-16). Tahapan yang keempat usia 60 sampai akhir hayat, titik
tekannya untuk persiapan masa transisi belajar meninggalkan dunia
bersiap ke akhirat dengan berusaha memiliki prasasti dan presasti (Q.S.
36:12) paling tidak ketika mati memiliki peninggalan berupa shodaqoh
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan (H.R.
Muslim)
XIII. Kenalkan Pendidikan Seks Sejak Dini
Meskipun laki-laki dan perempuan secara substansi sama (Q.S. 49:13)
namun harus diakui secara eksistensial mereka jelas berbeda (Q.S. 3:36)
paling tidak yang mudah kita kenal perbedaan itu meliputi perbedaan
biologis, psikologis, dan anggapan sosiologis. Oleh karena itu kita
harus mendidik anak laki-laki untuk menjadi laku-laki dan mendidik anak
perempuan untuk menjadi perempuan. Sekarang ada kecenderungan banyak
anak laki-laki tidak mengenal kelelakiannya dan banyak anak perempuan
yang tidak mengenal keperempuanannya. Banya laki-laki yang
kewanita-wanitaan dan banyak wanita kelelaki-lakian. Seharusnya
laki-laki dan wanita diciptakan untuk menjadi pasangan, sering berperan
menjadi saingan. Pergaulan laki-laki dan perempuan yang seharusnya
saling melengkapi kenyataannya justru saling mengalahkan.
Oleh:
Ustadz Didik Purwodarsono
Ustadz Didik Purwodarsono
Comments :
0 komentar to “Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak Menurut Islam”
Posting Komentar